kembang api2

Jumat, 22 Juli 2011

Renungan buat kita


Suatu hari Allah SWT memerintahkan malaikat Jibri AS untuk pergi menemui salah satu makhluk-Nya yaitu kerbau dan menanyakan pada si kerbau apakah dia senang telah diciptakan Allah SWT sebagai seekor kerbau. Malaikat Jibril AS segera pergi menemui si Kerbau.

Di siang yang panas itu si kerbau sedang berendam di sungai. Malaikat Jibril AS mendatanginya kemudian mulai bertanya kepada si kerbau, "hai kerbau apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai seekor kerbau". Si kerbau menjawab, "Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikan aku sebagai seekor kerbau, dari pada aku dijadikan-Nya sebagai seekor kelelawar yang ia mandi dengan kencingnya sendiri". Mendengar jawaban itu Malaikat Jibril AS segera pergi menemui seekor kelelawar.

Malaikat Jibril AS mendatanginya seekor kelelawar yang siang itu sedang tidur bergantungan di dalam sebuah goa. Kemudian mulai bertanya kepada si kelelawar, "hai kelelawar apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai seekor kelelawar". "Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikan aku sebagai seekor kelelawar dari pada aku dijadikan-Nya seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perutnya", jawab si kelelawar. Mendengar jawaban itu pun Malaikat Jibril AS segera pergi menemui seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah.

Malaikat Jibril AS bertanya kepada si cacing, "Wahai cacing kecil apakah kamu senang telah dijadikan Allah SWT sebagai seekor cacing". Si cacing menjawab, " Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikan aku sebagai seekor cacing, dari pada dijadikaan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal sholih ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya".

 

Basuhlah cerminan hati kita

Terkadang secara tidak sadar, kita begitu sering memandang orang lain tanpa memandang diri sendiri terlebih dahulu. Sehingga apa yang tergambar dari hasil pandangan kita itu adalah cenderung kepada peremehan orang lain, menganggap orang lain begitu berbeda (baca: lebih buruk), bahkan berpikir seolah hanya orang-orang seperti kitalah yang berhak tinggal di dunia ini.

Setelah itu, tidak jarang keluar kata-kata yang juga meremehkan, mengecilkan, dari mulut ini sebagai kelanjutan dari pandangan awal yang sempit tadi. Dan ini, seringkali dilakukan tanpa sadar karena memang bermula dari dalam dada (hati) ini. Sungguh saudaraku, kita begitu lupa akan ingatan Allah bahwa belum tentu orang-orang yang kita anggap lebih buruk (baca:diolok-olok) lebih buruk, bahkan mungkin pada diri kitalah hakikat keburukan itu. Hanya saja, sekali lagi, kita begitu sering tidak bercermin. Atau mungkin cemin itu begitu buram dan berdebu karena terlalu lama tersimpan tanpa kita gunakan barang sebentarpun.

Saudaraku, jika mungkin tidak secara lisan kita menghinakan, mencaci, mengecilkan, atau menganggap remeh orang lain, bisa jadi kita juga melakukan semua hal itu dengan sikap, cibiran bibir, gerakkan badan, ekspresi wajah atau hanya sekedar menghinanya dalam hati. Betapa sering kita melemparkan uang kecil dari balik pagar tinggi rumah kepada para pengemis, atau bahkan lontaran kata "maaf" sambil berbalik dengan mulut menggerutu berharap pengemis itu tidak datang kembali di lain hari.

Sesekali dada ini membusung saat menghadapi atau berbicara dengan orang lain yang kita anggap dalam posisi tidak lebih baik, tidak lebih beruntung, tidak lebih pintar, tidak lebih tua. Bibir ini boleh jadi tetap mengembangkan senyum saat berbicara dengan orang-orang itu, tapi senyum itu tentu akan sangat menyakitkan bila mereka tahu bahwa hati ini sedang menghinakannya. Ketahuilah saudaraku, manusia yang terlalu sering dihinakan, dizhalimi lebih peka mata bathinnya sehingga mereka bisa dengan jelas membedakan mana keihklasan dan mana kepalsuan atau kemunafikan.

Mungkin kita merasa gerah, tidak betah bila harus berlama-lama dengan orang-orang yang pakaiannya tidak sebagus yang kita kenakan, orang-orang yang menu makannya jauh berbeda secara harga apalagi kandungan gizinya, dengan orang-orang yang tidak memiliki kendaraan seperti kepunyaan kita, tidak bekerja seperti kita yang karyawan, profesionalis, wanita karir, pengusaha, tidak berpenghasilan sebanyak yang kita dapat, tidak berpendidikan setinggi yang kita raih saat ini.

Sungguh juga saudaraku, cermin hati ini begitu kotor, sehingga memburamkan mata hati ini dari melihat keberadaan malaikat Allah diantara kita dengan orang-orang itu yang begitu dekat dan melekat. (Nu'man bin Muqrin) berkata: "Bahwasannya ada seorang laki-laki mencaci orang lain disisi Nabi Saw, kemudian orang yang dicaci mengatakan: "Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu." Lalu Nabi Saw bersabda: "Ketahuilah bahwasannya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu; setiap kali orang ini mencacimu. Malaikat itu berkata kepadanya: "Tetapi engkau, engkaulah yang lebih berhak terhadap cacian itu; dan jika engkau mengatakan: "Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu", maka malaikat itu berkata: "Tidak, tetapi engkau, engkaulah yang berhak terhadapnya." ( HR. Ahmad)

Saudaraku, mari segera kita bersihkan cermin hati ini, basuhlah ia dengan memperbanyak mengagungkan kebesaran Allah, sehingga mengikis kesombongan yang sekian lama terhujam dalam hati ini. Tanamilah benih-benih kebajikan dan amal sholeh didasarnya, sehingga menumbuhkan bunga-bunga kesamaan dan penghormatan terhadap sesama serta siramilah selalu hingga ke akarnya dengan air kesyukuran, sehingga memupuk kerendahan hati ini. Wallahu a'lam bishshowaab